Advertisement
Tak pernah ada yang menyangka jika bocah seceria dan seceriwis Galank Dzakirul Idzam (7) kini hanya bisa terdiam.
Tak satupun orang di sekitarnya mengetahui sebabnya, tidak juga keluarganya.
Bocah lelaki asal Pedukuhan Plarangan, Desa Purwoharjo, Kecamatan Samigaluh itu divonis menderita Sindrom Hunter atau Mukopolisakaridosis (mps) tipe 2.
Ini termasuk penyakit genetik langka yang hingga kini belum ditemukan obat penyembuhnya.
Hal itulah yang disampaikan kepada pihak keluarga oleh dokter RSUP dr Sardjito Yogyakarta yang merawat Galank.
Baru Jumat (27/10/2017) lalu ia pulang ke rumahnya setelah menjalani perawatan intensif selama sekian hari di rumah sakit tersebut.
Saat Tribun Jogja bertandang ke rumahnya, Rabu (1/11/2017), Galank hanya terbaring di atas ranjang tanpa sedikitpun berbicara.
Hanya suara berdehem dan mengorok yang keluar dari mulutnya, seperti tengah berusaha mengeluarkan dahak yang tersangkut di tenggorokan.
Atau, ia tengah menahan risih karena tenggorokannya terganjal selang yang menghubungkan kepala dan lambungnya.
Sesekali Galank menggerak-gerakkan kepala atau memiringkan tubuh, mencari posisi yang nyaman.
Tangannya kerap menggenggam erat jemari sang nenek, Tugiyem (73) yang selalu mendampingi dan merawatnya.
Seolah, ia ingin mengungkapkan rasa tak nyaman akibat sakitnya itu.
Akibat penyakit Sindrom Hunter, kepala Galank membesar (hidrosepalus) karena dipenuhi cairan tertentu yang tak bisa dikeluarkan.
Dalam perawatan di RSUP dr Sardjito, Galank menjalani operasi dan di tubuhnya kini tertanam selang khusus untuk membuang cairan di kepala ke lambungnya.
"Menurut dokter, Sindrom Hunter menyebabkan kelainan pertumbuhan dan munculnya komplikasi penyakit."
"Termasuk hidrosepalus, diabetes, paru-paru, hati, limpa dan sendi kaku. Ini akibat tubuh Galank tidak bisa memecah zat gula dan protein," kata sang ayah, Subagyo (31).
Diceritakan, tanda-tanda serangan penyakit Sindrom Hunter itu muncul ketika Galank berusia sekitar 3 tahun.
Saat itu, ia mengalami pilek parah dan berkepanjangan sehingga hidungnya terus menerus mengeluarkan ingus tanpa henti.
Setelah ingus menghilang, justru ukuran kepalanya mulai membesar diikuti sendi-sendi tulang yang mengkaku.
Semenjak itu, pertumbuhannya mengalami titik balik dan kemunduran.
Galank yang semula cukup lincah dan ceriwis komunikatif itu mulai kehilangan daya bicara dan geraknya.
Di usia lima tahun, ia terpaksa tak bisa lagi belajar bersama teman-teman sebayanya di kelas nol kecil taman kanak-kanak (TK) setempat.
Sekarang ini, meski masih bisa berjalan tertatih, Galank tak bisa bangun dari rebahan tanpa bantuan orang lain.
Pun mulutnya kini hanya sanggup mengucap tiga kata saja; bapak, simbok untuk memanggil sang nenek, dan sego (nasi).
"Ketika lapar, dia hanya berkata 'sego' atau terkadang juga menangis," imbuh Subagyo.
Riwayat penyakitnya baru ketahuan ketika pemerintah menggalakkan program imunisasi Measles Rubella (MR), beberapa waktu lalu.
Pihak Puskesmas menyatakan tak sanggup mengimunisasi lantaran kondisi kelainan kesehatan Galank.
Ia lalu dirujuk ke RSUD Wates namun juga mendapati hal yang sama dan dirujuk ke RSUP dr Sardjito.
Di RSUP dr Sardjito, Galank ditangani oleh beberapa poli sekaligus. Mulai dari poli syaraf, poli paru, dan sebagainya sampai menjalani operasi syaraf kepala.
Hasil uji laboratorium lalu dikirimkan ke Taiwan untuk dianalisis.
Dari situ, kemudian muncul kesimpulan dan divonis kena Sindrom Hunter.
"Dokter angkat tangan untuk jenis penyakit ini karena belum ada obatnya. Bahkan, Galank divonis hanya bisa bertahan hidup sampai usia belasan tahun saja. Maksimal usia 20 tahun dan setelah itu kemungkinan katup pernafasannya akan menutup," kata Subagyo.(*)
EmoticonEmoticon