Advertisement
Kisah kematian seorang anak kembali membuat resah para orang tua di Indonesia.
Kali ini kisah kematian anak dari Medan dan berkaitan dengan palayanan medis di rumah sakit.
Padahal sebenarnya balita ini berkunjung ke rumah sakit hanya untuk cek kesehatan.
Tapi akibat salah masuk ruang unit gawat darurat (UGD) RSUP Adam Malik nyawa Jessica Kateline Br. Sianipar harus melayang.
Balita Jessica meninggal dunia usai menjalani perawatan Central Venous Cathether (CVC).
Orangtua balita ini harusnya masuk ke ruang poliklinik untuk melakukan medical chek up.
Melansir dari Tribun Medan (2/11/2017) namun sang ayah, Jhonson Parsaoran Sianipar salah masuk parkiran rumah sakit.
Hingga akhirnya anaknya ditangani paramedis untuk pasien unit gawat darurat (UGD).
Awalnya balita Jessica hanya divonis sakit GBS oleh dokter.
Penyakit yang menyerang gangguan pada sistem saraf yang menyebabkan kelemahan otot,
kehilangan refleks dan rasa baal atau kesemutan pada lengan, tungkai, wajah, dan bagian lain dari tubuh pasien.
Kisah menyedihkan tentang meninggalnya balita Jessica ini diposting oleh akun Facebook Birgaldo Sinaga (2/11/2017) dengan sangat detil.
Berikut cerita selengkapnya:
"Balita Jessica Tewas di RS Adam Malik Usai Dipasang CVC, Keluarga Menuntut Keadilan
"Katakan mana rumah sakit yang paling bagus dokter !! Columbia atau Materna !!", teriak Ibu Jessica dengan isak tangis pilu.
"Maaf Bu... Anak ibu sudah meninggal..kami sudah berusaha.. ", jawab dokter Nina terbata.
"Tidakkk !!! Tidakkk !! Anakku belum mati. Anakku masih hidup....Cepat katakan rumah sakit mana yang paling bagus Columbia atau Materna !!. Katakan cepat !!", teriak kencang Bu Jessica sambil menggoyang-goyangkan tubuh kaku anaknya Jessica.
Sementara di tengah ranjang Jessica, Pak Jessica suami Bu Jessica tampak menangis sesunggukkan.
Dadanya bergetar. Ia memukul dinding. Ia mencoba menahan istrinya yang menjerit meraung histeris tidak terima anaknya mati.
Jerit tangis seisi keluarga Jessica memecah ruang UGD RS Adam Malik sore itu. Kakek, Nenek,
Paman, Bibi dan tetangga Kakek Jessica tak kuasa menahan tangis. Mereka histeris melihat Jessica meninggal begitu cepat. Serasa mimpi.
Rabu, 23 Agustus 2017, menjadi hari kelabu bagi keluarga Jessica. Hari yang mengubah perjalanan hidup keluarga Jessica.
Jessica balita berusia 4 tahun adalah putri satu-satunya keluarga Jhonson Parsaoran Sianipar dan Ibu Kristin Aviani Simbolon. Jessica adalah anak ke dua dari tiga bersaudara.
"Kami membawa Jessica untuk medical check up sesuai anjuran Dokter Yazid. Tapi kenapa malah meninggal", ucap Bu Jessica terbata-bata sambil menangis sesunggukan tak percaya.
Bulan September lalu, saya mendapat kabar kematian Jessica dari Ibu Henny Silalahi, Ibu dari bayi Debora yang meninggal di RS Mitra Keluarga Kalideres pada Minggu, 3 September 2017 lalu. Bu Jessica curhat kepada Bu Debora. Bu Jessica tahu kisah bayi Debora yang mirip dengan kematian balita Jessica.
Saya menyuarakan jerit hati Bu Henny Silalahi yang sedang mencari keadilan untuk anaknya Debora.
Debora meninggal dunia diduga hanya karena persoalan uang muka hingga tidak dapat masuk ruang PICU.
Awal bulan Oktober lalu, Ibu Jessica menelepon saya. Di balik telepon, Ibu Jessica menceritakan perih hatinya. Anak perempuan yang paling dikasihinya direnggut dari hidupnya.
Sepanjang percakapan di telepon itu Ibu Jessica terus menangis. Saya hanya diam mendengarkannya.
Saya berjanji akan datang ke Medan untuk menemui Bu Jessica pada pertengahan Oktober.
Jumat sore, 13 Oktober 2017 saya tiba di Medan. Esoknya, Sabtu 14 Oktober 2017 kami bertemu di bilangan Jalan Imam Bonjol Medan.
"Kami membawa Jessica bukan karena Ia sakit kritis. Kami bawa ke RS Adam Malik karena saran Dokter Yazid yang meminta agar Jessica diperiksa ke laboratorium untuk memastikan diagnosa dokter Yazid soal sakit GBS", ujar Bu Jessica terbata-bata menahan tangis membuka percakapan kami.
Seminggu sebelum di bawa ke RS Adam Malik, tepatnya Hari Selasa, 15 Agustus 2017, Jessica dibawa kedua orang tuanya ke M77 Clinic. M77 Clinic adalah tempat Dokter Yazid buka praktik.
Menurut pemeriksaan Dr. Yazid Dimyati, Sp. A(K), Spesialis Anak Konsultan Saraf Anak, Jessica mengalami sakit GBS (Guillain Barre Syndrome) atau radang polineuropati demielinasi akut.
GBS adalah peradangan akut yang menyebabkan kerusakan sel saraf tanpa penyebab yang jelas. Itu yang menyebabkan Jessica sulit berjalan. Kakinya sering merasa seperti kesemutan. Sejak bulan Juli Jessica terkena GBS.
Oleh Dokter Yajid, Jessica diberikan rujukan ke RS Adam Malik untuk dilakukan pemeriksaan EMG/KHS. Menurut Dokter Yazid hanya di RS Adam Malik yang punya alat pemeriksaan penyakit GBS.
Kondisi Jessica menurut Dokter Yazid sudah melewati masa kritis GBS. Hanya masalah waktu saja Jessica akan pulih. "Yang penting kontrol dan minum obat. Pakai BPJS juga tidak mengapa", ucap Dokter Yazid serius.
Namun, untuk memastikannya Dokter Yazid menyarankan dilakukan pemeriksaan laboratorium agar dipastikan diagnosa GBSnya 100 persen. Dokter Yazid memberikan surat pengantar rujukan ke RS Adam Malik .
Dua hari menjelang medical check up, Senin 21 Agustus 2017, Jessica masih beraktifitas normal.
Pagi hari pukul 07.00 Wib, Jessica berangkat pergi ke sekolah TK, di bilangan Jalan Brigjen Katamso Medan. Jessica diantar ayahnya.
Untuk mencari tahu kondisi Jessica pada hari itu, saya mengunjungi Sekolah TK Jessica pada Senin, 16 Oktober 2017. Sekitar pukul 10.30 WIB, saya bersama kedua orang tua Jessica menemui ibu guru dan kepala sekolah TK Jessica.
"Jessica pagi itu nampak normal. Seperti biasa. Tidak ada nampak sesak nafasnya", ujar Bu Liny asisten wali kelas Jessica. Kami bicara di ruang kelas Jessica belajar.
"Jessica pagi itu diberikan tugas menulis angka huruf mandarin. Dan Jessica sama seperti teman-temannya menulis seperti yang saya ajarkan", ujar Bu Lenny Wali Kelas Jessica.
Menurut Bu Lenny, Jessica anak yang penurut. Cukup cerdas dan pendiam. Bahkan Kepala Sekolah TK Jessica, Ibu Yenny melihat Jessica punya semangat belajar yang tinggi.
"Hari Senin itu Jessica kelihatan wajar dan nampak seperti biasa", terang Bu Liny dan Bu Lenny kompak.
Saya melihat buku-buku milik Jessica yang masih tersimpan dalam lemari. Tulisan tangannya masih belum sempurna. Sebuah kertas berwarna hijau berbentuk bujur sangkar tertempel pada halaman tengah buku.
"Itu tugas kerajinan tangan Jessica", ujar Bu Lenny menjelaskan hasil karya Jessica. Ada tanda tangan dan nilai Ibu Lenny di kertas itu.
"Seminggu lagi sebenarnya Jessica ada ujian mengucapkan hapalan Tulang", ujar Bu Jessica memecah konsentrasi saya yang sedang melihat tulisan Jessica.
Di ruang kelas itu, Bu Jessica tiba-tiba menangis. Air matanya mengalir deras. Ia sepertinya membayangkan Jessica anaknya sedang duduk di kursi paling depan mengerjakan tugas gurunya.
Kursi kecil plastik tempat Jessica duduk, diduduki Bu Jessica.
"Jessica..., Anakku.. coba kau ulang ujian hafalanmu nak", lirih Bu Jessica sambil langsung dibalasnya sendiri kata-katanya itu. "Bajuku Baju Baru...Bajuku Dibelikan Ibuku.. Bajuku berwarna biru ", ucap Bu Jessica terbata-bata bercampur isak tangis menirukan anaknya Jessica.
Usai menirukan hapalan Jessica, Ibu Jessica terdiam. Matanya tampak kosong memandang saya dan Bu Lenny. Bu Jessica terus menangisi anaknya. Suaminya mencoba menenangkan istrinya.
Usai wawancara dari sekolah, kami meluncur ke RS Adam Malik.
"Saya baru pertama kali ke rumah sakit itu Tulang. Tidak tahu pintu gerbang rumah sakit itu sebelah mana", ujar Pak Jessica sambil menyetir mobil Nissan Livina membawa kami ke RS Adam Malik.
Dari sinilah pangkal muasal musibah kematian Jessica bermula.
Rabu, 23 Agustus 2017, Jessica dibawa kedua orang tuanya ke RS Adam Malik, merujuk surat rujukan dari Dokter Yazid. Malam sebelumnya, Jessica masih mengerjakan PR menulis huruf mandarin. Jessica juga antusias menghafal Baju Baru untuk ujian. Tidak ada tanda-tanda sakit pada tubuh Jessica.
Pukul 06.00 Wib, pagi hari itu, Jessica bangun. Mandi. Sarapan. Jessica selalu berdoa sebelum makan. Ia selalu mengingatkan abang dan adiknya agar selalu berdoa sebelum makan dan sebelum tidur.
Jika Jessica tidak melihat kedua saudaranya itu berdoa, Jessica meminta abang adiknya mengulangi doanya. Padahal abang dan adiknya sudah selesai berdoa. Tapi Jessica tidak percaya. Jessica harus melihat sendiri mereka berdoa.
Pukul 08.00 Wib, Keluarga Jessica bersiap berangkat ke RS Adam Malik. Jessica dipapah berjalan oleh ayahnya dari kamar ke teras rumah. Turut serta kakek nenek Jessica dalam rombongan.
Aditya Maulana, karyawan Game Online milik keluarga Jessica pagi itu juga melihat Jessica bersiap berangkat ke rumah sakit. Rumah Jessica dibuat merangkap usaha game online. Ruang tamu dijadikan tempat usaha game online.
Ada puluhan komputer tertata di meja ruang tamu. Rumah petak yang disewa ini beralamat di bilangan Simpang Kuala Medan. Aditya Maulana adalah karyawan keluarga Jessica. Saya mewawancarai Aditya pada Senin, 16 Oktober 2017, selepas makan siang.
"Saya lihat biasa saja sih Jessica. Seperti biasa aja Bang. Kalau berjalan Jessica pegang tangan ayahnya", ujar Aditya.
Aditya tidak melihat ada tanda-tanda Jessica sakit. Aditya tidak ada melihat jessica sesak nafas. Sama seperti hari-hari lainnya. Jika berjalan Jessica dipapah ayahnya. Pagi itu Aditya dapat giliran menjaga game online dan melihat Jessica pergi bersama keluarganya ke rumah sakit.
Sekitar pukul 09.00 Wib keluarga Jessica tiba di RS Adam Malik. Sialnya, Ayah Jessica tidak tahu pintu masuk poliklinik umum RS Adam Malik. Maksud hati menuju poli umum, apa daya mobil yang dikendarai malah masuk pintu gerbang UGD. Ada dua pintu masuk RS Adam Malik. Jalan pintu masuk hadap Selatan tempat Poli Umum. Jalan pintu masuk hadap Barat tempat UGD.
Tiba di depan pintu UGD, para perawat langsung menyorongkan ranjang beroda. Jessica dibangunkan dari tidur oleh Ibunya. Setengah perjalanan Jessica tidur. Jessica turun dari mobil.
Berdiri di samping mobil menunggu neneknya turun dari pintu samping. Jessica ngotot tidak mau naik kereta ranjang.
Akhirnya Jessica digendong dinaikkan ke ranjang. Ia menolak rebah. Dari pintu gerbang menuju ruang UGD, Jessica hanya duduk saja di atas ranjang. Perawat memasukkan Jessica ke ruang UGD.
Ayah Jessica mencari parkiran. Agak menjauh dari UGD. Sementara Ibu Jessica diminta perawat mengisi pendaftaran di bagian administrasi.
Kakek nenek Jessica ikut masuk ke dalam ruang UGD. Tampak Jessica dikelilingi dokter dan beberapa perawat. Ada sekitar 6-8 orang mengelilingi Jessica. Para medis langsung mengambil tindakan.
"Lho kenapa anakku? Apa yang terjadi? Kenapa jadi begini kondisinya? ", ucap Ibu Jessica terperanjat menyaksikan anaknya tampak ketakutan. Ibu Jessica melihat jarum suntik yang berisi darah Jessica usai mendaftar di administrasi.
"Lho kenapa diambil darah anakku? ", protes Bu Jessica. Perawat menjelaskan mereka terpaksa mengambil darah dari selangkangan Jessica karena beberapa kali dicoba di pergelangan tangan Jessica, mereka tidak dapat pembuluh darahnya. " Darah ini untuk pemeriksaan laboratorium bu", ujar perawat datar.
Usai diambil darahnya, kedua bola mata Jessica nampak bergerak berputar-putar melihat langit-langit. Jessica tidak mengenali lagi Ayah Ibu dan kakek neneknya. Jessica hanya mendelik matanya.
Seperti ketakutan. Seperti trauma. Padahal baru lima belas menit ditinggalkan ibunya yang pergi mengurus di bagian pendaftaran.
Pukul 10.00 Wib, Dokter Nina memanggil Ibu Jessica. Menurutnya kondisi Jessica kritis. Diharuskan opname dan infus. Hasil lab sudah keluar.
"Lho kok jadi parah begini dokter. Saya bawa kemari untuk medical check up seperti rujukan Dokter Yazid", ucap Bu Jessica sambil menunjukkan surat rujukan Dokter Yazid.
"Kondisi anak ibu kritis. Kritis", ketus dokter Nina yang tampak emosi karena dipertanyakan diagnosanya.
Ibu Jessica memohon untuk dipindah ke rumah sakit yang lain. Ia beralasan kurang nyaman anaknya yang tampak sehat ketika dibawa malah seperti kehilangan kesadaran ketika diambil darah dari selangkangan Jessica tanpa seijin dirinya.
"Kami tidak bisa mengizinkan anak ibu pindah rumah sakit, karena kondisinya kritis", jawab dokter Nina tegas.
Keluarga Jessica mengalah. Mereka tidak mau berdebat panjang. Yang penting Jessica bisa selamat.
Meskipun dalam rongga dadanya ada penyesalan melihat kondisi anaknya memburuk.
Pukul 10.30 Wib, Jessica diberikan infus dan NGT. Sulit mencari nadi dipergelangan tangannya.
Akhirnya infus dimasukkan dari tungkai kaki Jessica.
Jessica masih terbaring diruang UGD. Tempat tidur Jessica hanya dibatasi tirai gordyn berwarna biru.
Banyak bangsal berjejer berdampingan berbatas gordyn saja. Bangsal Jessica persis di tengah depan
pintu kaca masuk ruang UGD. Di sebelahnya juga ada yang sedang dirawat. Ramai orang sakit hari itu masuk UGD. Hilir mudik lalu lalang orang tak henti keluar masuk.
Pukul 11.00 Wib, kesadaran Jessica mulai pulih. Jessica sudah mampu mengenali kedua orang tuanya.
"Mama.. berdarah ma.. ", lirih Jessica sambil menunjuk selangkangan dan punggung tangannya yang tampak bekas tusukan jarum. Cairan infus melalui tungkai kaki mampet. Cairan tidak bisa mengalir.
Ibu Jessica mencoba menenangkan anaknya. "Tidak nak.. Itu digigit nyamuk nak", bujuk Bu Jessica menenangkan anaknya.
Ayah Jessica mencoba menghibur Jessica. Ia tahu lagu kesukaan Jessica. Ayahnya menyanyikan lagu Twinkle Twinkle dan lagu Kingkong Badannya Besar. Jessica senang sekali. Ia menyela ayahnya yang salah menyanyikan syair twinkle twinkle.
Dokter Firdaus seorang dokter Anestesi memanggil kedua orang tua Jessica. Jessica ditinggal sebentar dan dijaga kakek, nenek dan pamannya.
"Jessica harus dilakukan CVC bu. CVC diperlukan untuk menyelamatkan Jessica. Infus biasa tidak mampu lagi", terang dokter Firza.
"Apa itu CVC dok", tanya Bu Jessica.
Dokter Firdaus menjelaskan CVC itu adalah Central Venous Catheter. CVC prinsipnya sama dengan infus biasa. Cuma CVC infus yang langsung dimasukkan ke pembuluh darah dekat leher.
"Apakah ada risikonya dok", kejar Ibu Jessica.
"Ada dua cara pemasangan CVC. Satu di dekat leher dan satu lagi di selangkangan. Risiko pemasangan di selangkangan berisiko infeksi. Jadi lebih baik kita pasang dekat leher. Ibu tenang saja.
Saya sudah sering melakukan CVC. Tidak pernah ada masalah. Tidak pernah gagal. Anak ibu harus di CVC karena kondisinya kritis", tegas dokter Firdaus.
Keluarga Jessica mengalah. Mereka tidak punya pilihan lain, mereka percaya tindakan medis dokter.
Air mata Ibu Jessica menetes saat menandatangani surat persetujuan CVC. Jam menunjukkan pukul 12.00 Wib.
Hingga pukul 13.30 Wib, belum ada tanda-tanda dilakukan persiapan pemasangan CVC. Padahal kata dokter harus segera dilakukan tindakan CVC.
Kakek Jessica, Pak Simbolon bertanya kepada dokter Nina yang asik bertelepon di pojok ruangan UGD.
Dokter Nina mengelak. Ia tidak tahu menahu soal itu. Ibu Jessica mendatangi dokter muda di meja tengah UGD. Bu Jessica meminta jika tidak ada alat CVC, Bu Jessica meminta agar anaknya di pindahkan ke RS Sakit lain. Namun ditolak dokter karena alasan medis.
Tiga jam berlalu. Waktu menunjukkan hampir pukul 15.00 Wib. Jessica belum juga dilakukan tindakan CVC. Jessica sudah haus. Jessica lapar. Sejak pagi hanya makan sedikit. Perawat wanti-wanti agar tidak diberi minum dan makan sebelum dilakukan tindakan CVC.
Ibu Jessica hanya mengoleskan air ke bibir Jessica.
Pak Marpaung teman kakek Jessica yang ikut menjenguk mulai kesal. Pak Marpaung marah. Ia membentak paramedis yang acuh pada Jessica. Sudah hampir 3 jam lebih dibiarkan tanpa kejelasan.
Untunglah Jessica sabar. Di pembaringan itu Jessica terus bermain dengan ayah dan ibunya.
Opungnya juga ikut membelai tangan Jessica. Jessica merasa bosan, lalu Jessica mengambil handphone ayahnya. Ia main game sambil ayahnya bernyanyi twinkle-twinkle.
Setelah Pak Marpaung marah-marah, perawat mengatakan alat CVC ukuran 5 tidak ada. Yang ada hanya ukuran 4,5. Lagi dicari. " Mudah-mudahan sebentar lagi dapat pak", kata seorang perawat dengan raut muka dingin.
Keluarga Jessica kontan mulai emosi. Bagaimana mungkin rumah sakit sebesar Adam Malik ini tidak punya alat CVC? Lalu untuk apa dikatakan kritis harus dipasang CVC jika alatnya tidak ada ? Mengapa tidak dirujuk ke rumah sakit lain? Mengapa empat jam dibiarkan tanpa kepastian?
Sejuta tanya dan rasa kecewa amarah meledak. Pak Marpaung dan Kakek Jessica naik emosi. Mereka mendesak dan mengultimatum dokter dan perawat agar segera menangani cucunya.
Pukul 15.30 Wib, alat CVC ukuran 5 akhirnya tiba. Persiapan untuk dilakukan tindakan CVC segera dilakukan. Dokter Firdaus, Dokter Nina dan Dokter Sitanggang ikut. Beberapa perawat juga ada mendampingi.
Jessica tidak dipindahkan ke ruang ICU atau ruangan khusus. Jessica tetap baring di ranjang UGD.
Gordyn ditutup. Keluarga diminta keluar menunggu. Para dokter dan perawat bersiap melakukan tindakan CVC. Sebelum keluarga meninggalkan Jessica, Jessica masih asyik main handphone ayahnya.
Dokter segera lakukan pemasangan CVC. 15 menit kemudian tindakan CVC selesai dilakukan.
Dokter Sitanggang memanggil kedua orang tua Jessica. Waktu menunjukkan sekitar pukul 16.00 Wib.
"Pak Bu.. CVC sudah selesai kami lakukan. Jessica bisa opname di sini atau pindah rumah sakit", terang dokter Sitanggang.
Belum selesai dokter Sitanggang menjelaskan, dari ruang Jessica terdengar suara gemuruh kepanikan.
Terdengar suara kencang perawat memanggil dokter. Ibu Jessica terperanjat. Mereka ikut masuk. Ada apa gerangan?
Tampak dua tiga orang perawat dan dokter Sitanggang berlari ke ruang Jessica. Beberapa orang perawat mencoba menekan dada Jessica untuk memberi CPR. Dua orang perawat membuka paksa mulut Jessica dengan alat. Mencoba memasukkan selang. Saking paniknya tiga buah gigi atas Jessica patah. Ibu Jessica menjerit. Lalu berlari keluar memanggil keluarganya yang lain.
"Saya melihat tiga gigi Jessica patah karena dipaksa buka" ujar Pak Marpaung dan Pak Tambunan kawan kakek Jessica yang ikut melihat kejadian.
Pukul 16.15 Wib, detak janjung Jessica berhenti. Di layar monitor tampak garis lurus berjalan. Jessica meninggal dunia.
Ibu Jessica meraung-raung menangis kesetanan. Ia menjerit histeris. Suaminya memukul-mukul tepi tempat tidur Jessica. Mereka menggoncang-goncangkan tubuh Jessica yang mulai mendingin kaku.
"Jessica.. Bangun kau nak.. Bangun kau nak. Jangan tinggalkan mamak nak... Bangun kau... Tuhan Yesus tolong anakku.. Tolong Tuhan.. ", jerit histeris Ibu Jessica seperti orang kesurupan.
Ibu Jessica melabrak dokter. "Kalian apakan anakku ini??? Katakan dimana rumah sakit yang terbaik.. Katakan.. Columbia atau Materna!!", teriak Ibu Jessica geram.
"Maaf ibu.. Anak ibu sudah meninggal.. ", ujar dokter Nina terbata.
"Tidak!! Tidakkkk.. Tidakkk!! Anakku belum mati. Papa.. Ayo kita bawa Jessica ke Columbia. Cepat pa! ", pinta Ibu Jessica pada suaminya.
Pak Jessica dan anggota keluarga lain tak kuasa menolak. "Anak kita sudah meninggal ma", isak Pak Jessica lirih sambil memeluk istrinya.
"Gendong pa.. Gendong pa", paksa Bu Jessica kepada suaminya.
Akhirnya Jessica digendong. Dibawa lari langsung ke RS Columbia Medan. Sekitar 15 km jaraknya dari RS Adam Malik. Mobil tancap gas melaju kencang membelah jalanan Medan yang macet.
Di dalam mobil, tidak henti-hentinya Bu Jessica komat kamit berdoa berharap muzizat. " Pa.. Beri nafas buatan Pa.. Ayo Pa.. Beri nafas buatan Pa" pinta Bu Jessica agar suaminya memberi nafas buatan.
Ayah Jessica mencoba memberi nafas buatan. Ia tahu itu sia-sia. Tapi tetap dilakukan agar istrinya tenang.
Mulutnya ditempelkan ke mulut Jessica sambil didekapnya erat bercucuran air mata. Sepanjang jalan hampir 1 jam perjalanan, tubuh kaku Jessica terus dibelai ibu Jessica sambil berseru Tuhan Yesus selamatkan anakku. Sementara suaminya terus memberi nafas buatan.
"Dokter tolong anak saya tolonnnggggg" jerit Ibu Jessica setibanya di depan ruang UGD RS Columbia.
Para perawat nampak sigap. Dengan cekatan membopong Jessica ke ruang UGD. Dokter jaga langsung memeriksa Jessica.
"Maaf bu.. Anak ibu sudah meninggal dari tadi bu. Tubuhnya sudah dingin dan kaku. Tidak ada lagi detak jantungnya", ujar dokter jaga RS Columbia geleng-geleng kepala.
"Tolong selamatkan anak saya dokter.. Tolonnng.. Tolonnng dokter", pinta Ibu Jessica sambil menyembah-nyembah dengan sepuluh jarinya. Ibu Jessica rebah di lantai. Ia terus mendesak agar dokter menyelamatkan anaknya. Dokter hanya menggeleng.
Jenazah Jessica akhirnya dikembalikan. Mulutnya ditempel lakban plastik oleh perawat RS Columbia karena gigi atasnya tiga buah patah saat dipaksa buka oleh tenaga medis RS Adam Malik.
Malam sekitar pukul 20.30 Wib, jenajah Jessica tiba di rumah kakeknya di Jalan Binjei. Esok sorenya langsung kebumikan di Pekuburan Sei Semayang Binjei.
"Darah terus mengucur deras dari hidung anakku waktu di baringkan di rumah duka. Terus ku lap hidungnya pakai tisu. Kenapa keluar darah segar dari hidung dan mulutnya?", ucap Ibu Jessica sesak menahan geram.
Ibu Jessica menunjukkan foto Jessica sesaat meninggal dunia. Di pundak kiri dekat leher tampak ada dua bekas lubang CVC menghitam. Sementara di lengan kanan kirinya tampak kulitnya menghitam.
Selepas wawancara, saya mengajak keluarga Jessica jiarah ke makam Jessica. Cukup jauh perjalanan siang itu. Berkisar 30 - 40 km jarak tempuh. Sabtu siang, 14 Oktober 2017 di depan makam anaknya Ibu Jessica menumpahkan kesedihannya.
"Jessica... Lihatlah sudah datang Tulang Birgaldo mau membantu kita nak.. Lihat Jessica anakku", ucap Ibu Jessica menangis keras sambil memeluk kayu salib kuburan anaknya.
Kedua orang tua Jessica sedih dan kecewa. Laporan tindak pidana dugaan malpraktik yang telah dilaporkan ke polisi pada 4 Oktober 2017 hingga saat ini belum diproses Polda Sumut. Sejak dilaporlan belum ada pemanggilan sama sekali.
"Mentang-mentang kami orang kecil ya tulang, tidak dianggap oleh mereka", lirih Ibu Jessica sambil merapikan rerumputan makam Jessica.
"Jessica... Maafkan mamak ya nak... Maafkan mamak nak... Mamak yang salah.. Mamak yang salah membawamu ke rumah sakit Adam Malik itu", lirih Bu Jessica sesunggukkan sambil menyesali dirinya yang salah membawa anaknya ke Adam Malik.
Saya mencoba menepuk pundak Bu Jessica.
Menenangkannya. Mencoba menguatkannya. Saya memberikan sapu tangan. Ibu Jessica terus menangis memeluk kuburan anaknya. Seakan tidak mau berpisah. Setiap minggu sudah tiga bulan Ibu Jessica selalu jiarah melihat kubur anaknya.
"Kuburan Jessica belum kami perbaiki karena menunggu tulang datang", ujar Bu Jessica terisak.
Ahh.. Betapa saya tidak mampu menahan kesedihan.
Air mataku tidak mampu ku tahan. Seorang ibu kehilangan anak yang paling dicintainya tanpa Ia tahu apa penyebab kematian anaknya.
Hasil laboratorium dari Adam Malik tertanggal print out 23 Agustus 2017 yang diminta keluarga malah tidak diberikan. Yang diberikan malah print out tertanggal 4 Oktober 2017. Aneh.
"Saya ingin keadilan untuk anak saya", lirih Bu Jessica setengah berbisik saat ku peluk pundaknya di depan kuburan anaknya.
Lamat-lamat telingaku seperti mendengar suara nyanyian lagu Hapogosanta dari Grup Musik Siantar Rap. Lagu Batak kesukaan Jessica yang selalu dinyanyikannya setiap saat. Lagu itu juga dinyanyikannya sepanjang jalan saat menuju RS Adam Malik.
"sai hu ingot do ho inang nang damang i
(selalu ku ingat engkau ayah dan bunda)
sai hu rimangi do amang di poda mi
(selalu ku renungkan semua petuahmu)
tangiangkon au inang, tangiangkon au amang
(doakan aku bunda, doakan aku ayah)
asa boi au pasonang rohami"
(agar aku bisa menyenangkan hatimu kelak)
Desir angin siang panas terik hari itu cukup kencang. Ilalang dan kebun tebu di hamparan pemakaman baru itu seakan ikut bersedih. Dedauanan Ikut bergoyang diterpa angin menyibak wajah saya yang berdiri dekat pohon tebu.
Saya mengucapkan selamat istirahat dengan tenang ya ananda Jessica, sementara Ibu Jessica masih enggan meninggalkan makam Jessica.
Keadilan memang terkadang sulit didapatkan, tapi kita tidak boleh berhenti memperjuangkannya.
Damailah dalam tidur panjangmu. Maafkan kami yang gagal menyelamatkanmu. Sepenuh jiwa akan kami perjuangkan keadilan untukmu.
Salam perjuangan penuh cinta
Birgaldo Sinaga"
Postingan ini viral dan sudah mendapatkan lebih dari 11 ribu like, 8 ribu share dan 3 ribu komentar dalam 9 jam saja.
Entah siapa yang bersalah dalam kasus ini.
Sebab belum ada pengusutan lebih lanjut terkait kematian balita Jessica dari Medan ini.
EmoticonEmoticon